"Aku benci Jepang"
Suatu kalimat yang sudah lama terpendam dalam benakku, dan selalu muncul saat ingat akan film semasa penjajahan yang kuunduh dari berbagai sumber. Hati kecilku ingin sekali rasanya membalas perilaku keji para penjajah itu dengan tanganku sendiri.
Saat itu aku tengah dalam perjalanan pulang dari kampus dengan sepeda motor kesayanganku, warnanya putih dengan variasi warna merah muda dan sedikit kuning. Belumlah setengah jarak perjalanan, langit seakan turut dalam kesedihanku merenungkan para Pahlawan pejuang kemerdekaan yang gugur di medan perang. Ia menangis dengan sendunya.
Aaah..., tak ada mantel kubawa. Akhirnya kuputuskan meneduh di sebuah rumah makan tradisional yang khas dengan masakan rendangnya. Kupesan satu porsi sebagai pengganti makan siang yang kutangguhkan sampai sore ini.
Sambil menunggu, kukeluarkan saja laptop dari tasku, dan mulai menuliskan ini. Tenang rasanya laptop Thosiba C640 ini tidak terkena hujan barang setetespun. Di luar, kulihat Honda Beat 108cc terparkir sendirian, seolah ingin berkata: "Yeaay, akhirnya mandi juga". Memang sudah hampir sebulan ini ia belum kustim.
Perhatianku berhenti pada piring di atas mejaku, yang berisi segumpal nasi hangat dilumuri kuah warna merah kejingga-jinggaan, beserta lalapan daun singkong dan sesendok sambal cabai hijau. Di sampingnya, sepotong dada ayam tergolek dengan begitu menggoda, sedikit bercak hitam kena bakaran pada sisinya justru membuatku semakin bernafsu.
Dinginnya hujan, basahnya jalanan, tak lagi menarik perhatianku. Apalagi zaman penjajahan Jepang. Bahkan perangpun mungkin akan terhenti saat perut kelaparan bertemu dengan nasi padang.
Pondok Cabe, 20 September 2016.
Muh. Abdul Farid
(Seorang pemuda tambun yang selalu percaya suatu saat nanti akan ada seorang gadis shaleha, cantik dan langsing yang bersedia menikah dengannya)
No comments:
Post a Comment
Thanks for your coming, say something here :)