Perempuan, Kemiskinan, dan Kredit Mikro

Yunus (source: microworld.org)


Kemiskinan dan Ketimpangan

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia tahun 2014 yang dirilis oleh BAPPENAS menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir  tingkat kemiskinan di Indonesia mengalami penurunan, yakni telah mencapai 11,25% pada tahun 2014. Namun sayangnya, angka tersebut masih jauh dari target Millenium Development Goals (MDGs) yang seharusnya dicapai dari sebesar 15,10% pada tahun 1990, menjadi setengahnya atau sebesar 7,55% pada tahun 2015. Di sisi lain, penurunan tingkat kemiskinan tersebut juga diikuti dengan peningkatan kesenjangan ekonomi yang ditunjukkan oleh indeks gini yang terus mengalami kenaikan hingga mencapai 0,42 pada tahun 2013, seperti yang ditunjukkan pada Grafik 1.1.

Kemiskinan merupakan masalah yang sangat kompleks, tanpa sinergitas dalam setiap upaya/ program yang dilaksanakan, maka masyarakat miskin atau masyarakat prasejahtera akan terus terjebak dalam kondisi yang memprihatinkan.

UMKM

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memeratakan ‘kue’ perekonomian adalah dengan memperluas sektor usaha produktif, yakni UMKM atau Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (Erani Yustika, dalam Rahman, 2014). Peran UMKM dalam perekonomian nasional sangatlah besar, bahkan mendominasi baik dari segi unit usaha yang mencapai 99,99% dari total usaha yang ada di Indonesia, dan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 96,99% dibandingkan dengan usaha besar yang hanya sebanyak 3,01%. UMKM juga berkontribusi sebesar 57,48% terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB), dengan total investasi sebesar 56,15% (Kementerian Koperasi dan UKM, 2013) seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 1.1.

Namun dalam praktiknya, pertumbuhan UMKM terhambat oleh adanya keterbatasan kapasitas UMKM dalam mengakses permodalan, teknologi informasi, pasar, hingga produksi (I Wayan Dipta, Deputi Bidang Produksi Kementerian Koperasi dan UKM). Senada dengan hasil survei IMK 2015 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa 73,96% IMK (Industri Mikro dan Kecil) yang disurvei mengaku masih mengalami kesulitan. Kesulitan utama yang dirasakan tersebut adalah kesulitan modal usaha (38,84%), kesulitan pemasaran hasil usaha (25%), dan kesulitan bahan baku (22,29%), seperti ditunjukkan pada Grafik 1.2.

Sebetulnya, pemerintah sudah banyak menawarkan program yang mendukung UMKM, mulai dari segi permodalan seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan sebagainya, mendirikan Pusat Layanan Usaha Terpadu (PLUT KUMKM) sebagai pusat pelatihan, dan dalam segi promosi/ pemasaran dengan mendirikan SMEsCo (Small Medium Enterprises and Cooperatives) dalam bentuk pameran tahunan produk-produk UMKM. Namun dalam pelaksanaannya masih belum optimal dan menuai banyak kendala, mulai dari kapasitas SDM penyalur program maupun pelaku UMKM penerima manfaat itu sendiri. Menurut survei yang dilakukan oleh tim IFC, sebanyak 76% UMKM tidak memanfaatkan layanan dukungan pemerintah sama sekali. UMKM informal umumnya enggan untuk mengajukan permohonan pelatihan atau pameran tanpa memiliki status hukum yang tepat, mereka mengatakan bahwa program tersebut tidak begitu cocok untuk mereka.

Perempuan

Fenomena unik mengenai usaha mikro di banyak negara termasuk di Indonesia adalah usaha mikro lebih banyak dilakukan oleh kelompok perempuan. Dalam kenyataannya, kegiatan usaha yang dijalankan oleh perempuan mewakili 60% dari jumlah keseluruhan usaha mikro, kecil dan menengah di Indonesia dan memberikan kontribusi yang besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia (Dekop, dalam World Bank Group). Lebih lanjut, studi yang dilakukan oleh International Finance Corporation (IFC) World Bank Group pada Maret 2016 menemukan bahwa perempuan Indonesia memiliki sebanyak 52,9% usaha mikro, 50,6% usaha kecil, dan 34% usaha menengah.

Terdapat dua hal menarik yang bisa kita garisbawahi dari permasalahan usaha mikro ini. Pertama, UMKM masih kesulitan dalam akses permodalan. Kedua, pelaku UMKM paling banyak adalah kaum perempuan. Keterbatasan akses permodalan terhadap lembaga keuangan formal ini salah satunya disebabkan oleh persyaratan yang mengharuskan adanya jaminan atas pinjaman modal tersebut. Salah satu pihak yang tergerak atas permasalahan ini ialah Prof. Muhammad Yunus dan Grameen Bank, peraih Nobel Perdamaian 2006, atas usahanya dalam memberikan kredit bebas agunan kepada masyarakat golongan termiskin di Bangladesh yang sebelumnya tidak akan pernah mungkin tersentuh oleh lembaga keuangan formal manapun (unbankable). Dalam bukunya yang berjudul “Bank Kaum Miskin”, Muhammad Yunus mengatakan:

“…. bila Anda berada di dunia nyata, tidak bisa tidak Anda akan melihat bahwa kaum miskin menjadi miskin bukan karena tidak terampil atau buta huruf, tetapi karena mereka tidak bisa menyisihkan hasil yang didapat dari kerja mereka. Mereka tidak memiliki kontrol atas modal, dan kemampuan mengontrol modal-lah yang memberi orang kekuatan untuk lepas dari kemiskinan.” (Yunus, 2013:137).

Grameen Bank melalui program pemberian kredit mikronya pada tahun 2006 telah berhasil merangkul 7 juta orang miskin di 73.000 desa, dimana 97% di antaranya adalah perempuan (Yunus, 2013:259). Pengalaman Grameen Bank tersebut telah banyak menginspirasi banyak negara di dunia yang kemudian turut menerapkan program kredit mikro bagi kaum termiskin di negaranya. Sehingga pada Microcredit Summit di Washington tahun 2005, dirumuskan 4 prinsip utama yang harus dimiliki oleh lembaga kredit mikro, yakni; (1) mencapai golongan termiskin; (2) memberdayakan kelompok perempuan; (3) membangun lembaga keuangan yang berkelanjutan; (4) dampak yang terukur (Ismawan, 2003).

Selain menjangkau golongan termiskin yang tidak mempunyai aset sebagai jaminan atas pinjamannya, hal yang menarik dari prinsip kredit mikro adalah lebih memfokuskan pada pemberdayaan kelompok perempuan. Hal ini sesuai dengan bukti empiris yang ditemukan pada Grameen Bank, bahwa kaum perempuan cenderung lebih mampu mengelola aset/ modal daripada laki-laki, hal tersebut dibuktikan dengan tingkat pengembalian kredit oleh perempuan dapat mencapai 99% (Yunus, 2013:259), sehingga para pembuat keputusan termasuk para agen donor percaya bahwa ber-bank dengan perempuan menciptakan “a financially sustainable operation” (Rajivan, 2001, dalam Asmorowati, 2007). 

Peningkatan pendapatan yang diterima oleh kaum perempuan juga dipercaya dapat memberikan kesejahteraan secara langsung bagi anggota keluarganya, karena perempuan mempunyai kecenderungan untuk menggunakan hampir keseluruhan pendapatannya untuk keluarga, seberapa kecil pun pendapatan tersebut, dan perempuan lebih memperhatikan masa depan anak-anak mereka dan siap untuk berkorban apa saja untuk mewujudkan masa depan tersebut (Kabeer, 2001; Khandker, 1998, dalam Asmorowati, 2007).

Tidak hanya dalam hal pendapatan, program kredit mikro juga dapat membawa perubahan dalam diri perempuan itu sendiri. Selama ini perempuan dipandang sebelah mata karena pembagian kerja (sexual division of labor) yang memposisikan perempuan hanya pada ranah domestik (mengurusi pekerjaan rumah dan anak-anak), sementara laki-laki selalu identik dengan urusan publik (Rajab, 2006:130). Direktur Pelaksana Bank Dunia, Sri Mulyani mengatakan: “One area where we can reduce the cost of gender inequality is by expanding access to finance” (World Bank Blog, 2015). Maka dengan adanya kredit mikro bagi perempuan, dengan sendirinya akan meningkatkan status mereka dalam rumah tangga maupun masyarakat, dan karenanya mengarah kepada pemberdayaan perempuan (Hunt et al., 2001, dalam Asmorowati, 2007).

Berdasarkan paparan tersebut, banyak pihak yang percaya bahwa dengan semakin banyaknya kredit mikro yang disalurkan kepada perempuan pengusaha UMKM, dapat mencapai dua tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) secara bersamaan, yakni menghapuskan kemiskinan (mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuknya di semua tempat), dan mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua wanita dan anak perempuan.

Kabupaten Bogor

Kabupaten Bogor merupakan daerah yang memiliki jumlah penduduk terbanyak di Provinsi Jawa Barat, yakni berjumlah 5.459.700 jiwa (BPS Jabar, 2015). Hal tersebut tentu membawa dampak yang signifikan, terutama dalam hal pemerataan kesejahteraan. Berdasarkan data BPS Jawa Barat 2016, Kabupaten Bogor merupakan daerah dengan jumlah penduduk miskin terbanyak di Provinsi Jawa Barat, yakni sebanyak 490.800 jiwa atau sebesar 8,83% dari total penduduknya.

Berkenaan dengan program kredit mikro sebagai program bantuan permodalan bagi masyarakat miskin, ternyata pemanfaatannya di Kabupaten Bogor masih rendah. Publikasi Statistik Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Bogor 2016, menyatakan bahwa hanya sebesar 12,76% rumah tangga yang memanfaatkan kredit mikro, dengan rincian ditunjukkan dalam tabel 1.2.


Pemanfaatan kredit mikro yang masih rendah ini tentu sangat disayangkan dan juga mengungkapkan bahwa masih banyak masyarakat miskin pengusaha mikro di Kabupaten Bogor yang belum memiliki akses permodalan.

Proses pembangunan yang baik haruslah melibatkan semua pihak dalam mewujudkannya, baik itu pemerintah, masyarakat dan juga pihak swasta. Kondisi tersebut menjadi "PR" bagi pemerintah, dan juga tantangan dan peluang bagi pihak yang tertarik dalam bidang social entrepreneur.




Perempuan, Kemiskinan, dan Kredit Mikro di Kabupaten Bogor

Oleh Muh. Abdul Farid
Ciputat, 1 April 2016.





____________________________________

Pustaka
  • Asmorowati, Sulikah. Dampak Pemberian Kredit Mikro untuk Perempuan: Analisis Pengadopsian Model Grameen Bank di Indonesia. Jurnal Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik Th. XX, No. 3, h. 175-190, September 2007. Universitas Airlangga, Surabaya.
  • BAPPENAS. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014. Kementerian PPN/BAPPENAS. 2015.
  • Ismawan, Bambang. Peran Lembaga Keuangan Mikro dalam Otonomi Daerah. Jurnal Ekonomi Rakyat [Artikel - Th. II - No. 1 - Maret 2003]. (http://jer.mubyarto.org/edisi_13/artikel_1.htm) diakses pada 29 Maret 2016.
  • Kuncoro, Mudrajad. Pembangunan Ekonomi: Teori, Masalah dan Kebijakan. Yogyakarta: UPP AMP YKPN. 2000.
  • Maulana, Erwin Rizqi. Dampak Kredit Mikro Terhadap Kemiskinan. Skripsi S1 Ilmu Ekonomi FE UI. 2008.
  • Rajab, Budi. Migrasi dan Relasi Gender pada Rumah Tangga Miskin. Jurnal Perempuan No. 46. Jakarta Selatan: Yayasan Jurnal Perempuan, 2006.
  • Tambunan, Tulus T.H. Perekonomian Indonesia: Teori dan Temuan Empiris. Jakarta: Ghalia Indonesia, Jakarta. 2001.
  • Todaro, Michael P., dan Stephen C. Smith. Pembangunan Ekonomi. Edisi Kesebelas. (Terjemahan oleh Agus Dharma). Jakarta: Erlangga. 2011.
  • United Nations Development Programme (UNDP). A New Sustainable Development Agenda. Diakses pada 29 Maret 2016. (http://www.undp.org/content/undp/en/home/sdgoverview/
  • Yunus, Muhammad, dan Alan Jolis. Bank Kaum Miskin. (Terjemahan oleh Irfan Nasution). Tangerang Selatan: Marjin Kiri. 2013.
  • World Bank Blog, 16 Desember 2015. A New Strategy to Address Gender Inequality. (http://blogs.worldbank.org/voices/new-strategy-address-gender-inequality) diakses pada 9 April 2016.




No comments:

Post a Comment

Thanks for your coming, say something here :)

Powered by Blogger.