Imanisasi



Berbicara tentang iman atau keyakinan, memang sangatlah harus berhati-hati. Jika apa yang kita tulis adalah sebuah kebenaran, maka tulisan kita akan bermanfaat bagi orang lain. Sebaliknya, jika kita menuliskan kekeliruan, justru malah akan menyesatkan. Apalagi kalau sudah membicarakan iman orang lain, berbahaya broh, sudah banyak kasusnya kan :)

Baiklah, sebelum mulai, saya harus katakan bahwa ini hanyalah pendapat pribadi, dan pendapat belum tentu benar dan juga belum tentu salah, jadi bijak-bijaklah ya mengambil maknanya :)

Sejak kecil saya dan mungkin juga kita semua sudah sering mendengar di berbagai tempat bahwa kita harus rajin beribadah untuk mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya, dan mengurangi maksiat sekurang-kurangnya bahkan meninggalkan, supaya kita terhidar dari neraka dan kita dimasukkan ke surga. Aamiin ya :) Tetapi dewasa ini rasanya ajakan dengan model reward and punishment seperti itu sudah tidak lagi relevan. Saya merasa lucu jika ada orang yang mengajak kebaikan dengan mengiming-imingi bonus pahala yang banyak, hmmm sudah seperti MLM aja ya :)

Saya bukannya tidak suka atau menertawai ajakan semacam itu, namun mungkin karena seiring bertambahnya usia dan juga perkembangan paradigma, hal-hal semacam itu menjadi terdengar lucu. Dan dengan sangat nyata menunjukkan bahwa kita manusia ini adalah makhluk yang terlahir materialistis, hitung-hitungan. Jika kita mengerjakan sesuatu karena ingin ada sesuatunya, lalu dimana letak keikhlasan?

Bagaimana jika seperti lagu Chrisye: "Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau bersujud kepada-Nya?"

Kebayang, gak?
Semoga ngerti apa yang saya maksud, ya :)

Saya menyimpulkan bahwa level keimanan seseorang itu ada tiga. Pertama, ia taat karena takut masuk neraka. Kedua, ia taat karena ingin mengumpulkan banyak pahala, supaya bisa ke surga. Ketiga, ia taat dan tidak mengharapkan apa-apa.

Menariknya, terjadi perubahan pola pikir pada level ketiga ini. Misalnya tentang perkara Sholat. Baginya, sholat bukanlah pekerjaan yang wajib dikerjakan. Jangan berburuk sangka dulu, lanjutkan membacanya ya :)

Baginya, sholat tidak wajib seperti membayar pajak. Meski sama-sama wajib dan sama-sama memiliki sanksi jika tidak dikerjakan, tetapi keduanya berbeda. Pajak diwajibkan karena digunakan untuk membiayai pembangunan nasional, artinya ada kebutuhan, pemerintah butuh pajak kita. Sedangkan sholat tidak seperti itu, Allah sama sekali tidak butuh sholat kita. Entah kita sholat atau tidak, sama sekali tidak akan mengurangi Kekuasaan-Nya.

Lalu, untuk apa selama ini kita sholat?

Kita, misalnya, kalau dikasih amplop uang satu juta rupiah saja oleh tamu, rasanya senang sekali, sampai-sampai kita begitu respect dan ingin memberikan tamu tersebut buah tangan yang terbaik yang ada di rumah kita, dengan rasa senang dan ikhlas. Dan tentu saja ucapan terima kasih yang berkali-kali diucapkan. Itu sudah spontan kita lakukan, jika tidak, kita dengan sendirinya akan merasa sangat malu.

Lalu, bagaimana dengan nikmat yang sudah Allah berikan dari sebelum kita lahir dan sampai dewasa ini? Mampukah kita membalasnya? Jangankan membalasnya, menghitungnya saja rasanya kita tidak akan sanggup.

Jadi, sholat adalah aksi nyata atas nikmat yang paling besar yang hanya Allah yang sanggup memberikannya kepada kita. Sholat adalah cara berterima kasih yang paling spesial yang hanya kita berikan kepada-Nya.

Demikian pula dengan amalan-amalan lainnya. Semuanya adalah bentuk rasa syukur kita kepada Sang Pemilik Segalanya dan Sang Maha Pemberi Kehidupan.

Semoga kita semua bisa beribadah dengan sebaik-baiknya. Aamiin :)

to be continued....
____________________
Image Source: reasonablefaith.org

2 comments:

Thanks for your coming, say something here :)

Powered by Blogger.